Minggu, 21 Desember 2008

JURNAL

BAB I

PENDAHULUAN

Lahirnya jurnal ilmiah di sebuah PTAI merupakan salah satu wahana yang sangat penting untuk mengembangkan keilmuan agama Islam di tingkat pendidikan tinggi, dan untuk mengembangkan masyarakat. Melalui tulisan-tulisan yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah, PTAI selain dapat memberikan sumbangsih pemikiran sebagai hasil kajian keilmuannya ke tengah masyaarakat, sekaligus merupakan media informasi kebradaan PTAI itu sendiri di tengah-tengah dunia perguruan tinggi lainnya. Dengan demikian hubungan PTAI dengan masyarakat merupakan hubungan yang saling bersinergi.

Pedoman penerbitan ilmiah ini dimaksudkan sebagai sarana informasi yang singkat dan padat, dan lebih bersifat teknis dalam rangka pengelolaan dan penerbitan jurnal ilmiah di PTAI. Hinga saat ini (1999/2000) tampaknya penerbitan jurnal ilmiah di PTAI sudah melembaga. Hal itu tergambar dari banyaknya jumlah penerbitan ilmiah yang masuk ke Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam yang berjumlah 59 penerbitan. Jumlah jurnal yang masuk tersebut telah dipandang oleh institusinya masing-masing sebagai penerbitan yang layak untuk diakreditasi di Komisi Pengembangan Penerbitan Ilmiah c.q. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (Ditbinlitabmas, Ditjen Dikti). Selain itu masih banyak lagi penerbitan jurnal ilmiah di lingkungan perguruan Tinggi Agama Islam yang masih dalah proses penyempurnaan untuk diusulkan pula agar memperoleh akreditasi Komisi Penerbitan Ilmiah tersebut. Itu berarti jumlah penerbitan ilmiah yang telah diterbitkan oleh PTAI saat ini jauh melebihi jumlah lembaganya sendiri. Dengan kata lain ada PTAI yang menerbitkan lebih dari satu jurnal, sesuai dngan jumlah fakultas yang ada di lembaga tersebut. Di satu sisi secara kuantitatif penerbitan jurnal ilmiah di lingkungan PTAI cukup membesarkan hati, namun setelah melalui proses pengakreditasian di tingkat nasional

Penerbitan leaflet ini diharapkan disamping memberikan informasi secara singkat dan padat untuk pengelolaan penerbitan jurnal ilmiah, juga dimaksudkan sebagai dorongan bagi kalangan PTAI untuk terus meningkatkan kualitas penerbitannya, sehingga kelak menjadi jurnal yang terakreditasi dan dapat menjadi media penyebarluasan informasi ilmiah yang berkualitas, serta diharapkan bisa menjadi acuan para peneliti dan pihak-pihak yang memerlukan informasi baru tentang pengembangan keilmuan.

BAB II

BEBERAPA PENGERTIAN DAN JENIS JURNAL ILMIAH

A. Pengertian Jurnal Ilmiah

Jurnal adalah terbitan berkala yang berbentuk pamflet berseri berisi bahan yang sangat diminati orang saat diterbitkan . Bila dikaitkan dengan kata ilmiah di belakang kata jurnal dapat terbitan berarti berkala yang berbentuk pamflet yang berisi bahan ilmiah yang sangat diminati orang saat diterbitkan. (Buku Pegangan Gaya Penulisan, penyunting dan penerbitan Karya Ilmiah Pegangan Gaya Penulisan, Penyunting dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia, karya Mien A. Rifai, Gajah Mada Uneversity, 1995, h.57-95).

B. Macam Dan Jenis Jurnal

Ada beberapa jenis penerbitan berkala, selain jurnal , yaitu Majalah, Bulletin, Warkat Warta.

Majalah adalah terbitan berkala yang bukan harian, setiap keluar diberi halaman terpisah, biasanya diidentifikasi dengan tanggal dan bukan nomor berseri.

Bulletin adalah berkala resmi yang dikeluarkan lembaga atau organisasi profesi ilmiah serta memuat berita, hasil dan laporan kegiatan dalam satu bidang.

Warkat Warta, adalah terbitan pendek berisi berita, termasuk kemejuan keilmuan yang berisi catatan singkat yang mengutarakan materi secara umum dan tidak mendalam. (lihat Mien A. Rifai h.57-59).

Selain itu, dari sisi teknis isi ada tiga macam berkala ilmiah yaitu pertama majalah teknis ilmiah, kedua berkala semi ilmiah dan ketiga berkala sekunder.

Majalah teknis ilmiah merupakan majalah yang memuat hasil dan temuan baru penelitihan. Berkala ini biasanya sebagai sarana untuk komonikasi para pakar yang terspesialisasi.

Berkala semi ilmiah, yaitu berkala yang memuat tulisan teknis dengan cakupan yang bersifat siklopedia dan ditujukan bagi mereka yang bukan ahli atau spesialis dalam bidang yang dimaksud.

Berkala sekunder berisi abstrak atau ringkasan majalah primer yang sering disebut pula berkala penyari (abstracting Jurnal).

Selain itu, untuk keperluan pendidikan ada pula yang disebut berkala tinjauan yang memuat berbagai artikel ilmiah sejenis yang terbit beberapa tahun terakhir untuk memberikan gambaran kemejuan menyeluruh suatu topic (lihat Mien A. Rifai, h.59).

Berdasarkan pengertian, macam dan jenis tersebut diatas, didalampedoman ini dimaksudkan dengan jurnal ilmiah adalah terbitan berkala yang berisi kajian-kajian ilmiah yang spesifik dan dalam bidang tertentu.

C. Jurnal Ilmiah Yang Dinilai


Jurnal ilmiah yang diajukan untuk memperoleh Akreditasi, yaitu jurnal yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1

Jurnal yang telah terbit minimal selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, terhitung mundur mulai tanggal terakreditasi.

2

Frekwensi penerbitan jurnal ilmiah minimal dua kali dalam satu tahun secara teratur. Bagi jurnal yang hanya sekali terbit dalam mengajukan akreditasi, harus mengajukan alasan-alasannya.

3

Jumlah tiras setiap kali penerbitan minimal 300 eksemplar.

4

Diterbitkan oleh Pengurus Perguruan Tinggi dibawah naungan Depdiknas, Himpunan Profesi dan Intansi Terkait. Lihat Pedoman Pengajuan Usaha Akreditasi Jurnal Ilmiah Rumawi III (terlampir).

D. Beberapa ketentuan dalam penerbitan Berkala Ilmiah


Untuk penerbitan ; berkala ilmiah diperlukan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi:

1.

Semua terbitan berkala harus mempunyai ukuran yang sama dan tetap setiap kali terbit.

2.

Keseragaman tipografi harus dipertahankan dari artikel ke artikel dalam satu terbitan yang sama.

3.

Apabila dalam satu terbitan berkala digabung dan jika tidak ada judul yang dapat digunakan harus dinyatakan sebagai terbitan berkala baru.

4.

Apabila suatu terbitan berkala dipecah menjadi dua terbitan atau lebih judul asli terbitan tidak dipertahankan, penomoran terbitan berkala baru harus dimulai dari volume

5

Semua perubahan pada nomor 3 dan 4 diatas , begitu juga dengan perubahan judul atau frekwensi harus disebutkan dengan jelas dalam beberapa terbitan sebelumnya, mendahului perubahan yang akan dibuat. (Sistimatika Penyajian Terbitan Berkala Sesuai Standar Nasional dan internasional, LIPI,1999, h.5-6).

Disamping ada dua elemen dalam terbitan berkala, yaitu elemen utama dengan elemen tambahan. Elemen utama mencakup halaman sampul, halaman judul, dafta isi dan halaman teks. Adapun elemen tambahan terdiri atas lembar abstrak, halaman indeks, dan daftar isi kumulatif (lihat LIPI h.5).

E. Bobot Penilaian Jurnal Ilmiah


Penilaian terhadap bobot jurnal Karya ilmiah, didasarkan pada beberapa kriteria dan pembobotan komponen-komponen dengan skor tertinggi masing-masing, yaitu :

Nama berskala skor tetinggi(5), Kelembagaan penerbit (5), Penyunting (30), Kemantapan penampilan (10), Gaya penulisan (10), Substansi (25), Keberkalaan (12), dan Kewajiban pasca terbit (3). Dari kreteria tersebut, bobot yang paling tinggi mendapatkan skernya adalah pada criteria Penyunting (30) dan Substansi (25). Dua criteria itulah yang sangat dominant, disamping criteria lainnya untuk menentukan sebuah jurnal ilmiah dapat memenuhi kwalifikasi sebagai jurnal yang berkwalitas dan mendapat akreditasi dari Komosi Pengembangan Penerbitan Ilmiah.

F. Jurnal Ilmiah untuk Penulis Lintas Perguruan Tinggi


Jurnal ilmiah yang diterbitkan dilingkungan PTAI memiliki banyak variasi yang berdasarkan pada pembidangan ilmu agama Islam, seperti pembidangan ilmu syari’ ah, ilmu tarbiyah dan sebagainya. Penerbitan berkala di PTAI stessingnya pada pembidangan ilmu yang relevan dalam kerangka mengembangkan 8 bidang disiplin ilmu yang ada . Dalam pada itu, jurnal ilmiah terakreditasi di lingkungan PTAI pada dasarnya terbuka untuik setiap kontributor (dosen dan peneliti) dari luar PT atau lembaga penerbitan jurnal ilmiah tersebut untuk mengirimkan hasil-hasil karyanya yang sesuai dengan bidang atau keahlianya dalam bidang dalam mengembangkan 8 bidang disiplin ilmu yang ada.Deangan demikian tidak terjadi suatu jurnal ilmiah ditulis sendiri, diterbitkan sendiri, dibaca atau dinikmati sendiri.

G. Klasifikasi Jurnal Terakreditasi dan Kompone-komponen yang Dinilai


Jurnal ilmiah berkala yang dinilai oleh Komisi Pengembengan Penerbitan Ilmiah diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu terakreditasi dengan nialai A atau dengan angka (80-100), terakreditasi dengan angka B atau dengan angka (70-79), dan terakreditasi dengan nilai C atau denfan angka (60-69). Jurnal ilmiah telah mendapatkan akreditasi, masa berlakunya selama 3 tahun.

H. Jurnal Ilmiah Terakreditasi di Lingkungan PTAI


Berdasarkan surat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, No. 69/DIKTI/-Kep/2000, jurnal ilmiah dilingkungan PTAI dan telah lolos mendapatkan akreditasi tahun 2000 sebanyak 9 jurnal dan tahun 2001 menyusul 2 jurnal sebagai berikut

No

Nama Jurnal

Penerbit

Akreditasi

1

Studia Islamika

IAIN Jakarta

A

2

Al- Jami’ ah

IAIN Yogyakarta

B

3

Khazanah

Fak. Tarbiyah IAIN Banjarmasin

C

4

At- Ta’ lim

Fak. Tarbiyah IAIN Padang

C

5

Teologia

Fak. Ushuld. IAIN Semarang

C

6

Lektur

STAIN Cirebon

C

7

Madania

STAIN Bengkulu

C

8

Ta’ dib

STAIN Batusangkar

C

9

Al- Qalam

STAIN Serang

C

10

Mimbar

STAIN Jakarta

C

11

Refleksi

Fak. Ushuld.IAIN Jakarta

C

BAB III

PENUTUP

Mekanisme Perjuangan Usulan Akreditasi Jurnal


Ada beberapa panduan dan formulir yang telah disiapkan oleh Ditbinlitabmas Ditjen Dikti Untuk pengusulan sebuah Jurnal yang akan di akreditasi :

1.

Pedoman Pengajuan Usulan Akraditasi Jurnal Ilmiah.
Pedoman ini berisi Ketentuan-ketentuan umum yang harus dipenuhi bagi sebuah jurnal untuk diusulkan sebagai jurnal terakreditasi.

2.

Format Isian Pengajuan Usulan Akreditasi Jurnal Ilmiah ( Lampiran 1 ).

3.

Formulir Isian Penilaian Akreditasi Jurnal (Lampiran 2).

4.

Instrumen Evaluasi untuk Akreditasi Berkala Ilmiah.
Insterumen ini berisi norma-norma dan skor untuk setiap aspek yang akan diberi nilai (Lampiran 3).

PERDAGANGAN INTERNASIONAL (B.INGGRIS)

International trade

International trade is exchange of capital, goods, and services across international borders or territories.[1] In most countries, it represents a significant share of gross domestic product (GDP). While international trade has been present throughout much of history (see Silk Road, Amber Road), its economic, social, and political importance has been on the rise in recent centuries. Industrialization, advanced transportation, globalization, multinational corporations, and outsourcing are all having a major impact on the international trade system. Increasing international trade is crucial to the continuance of globalization. International trade is a major source of economic revenue for any nation that is considered a world power. Without international trade, nations would be limited to the goods and services produced within their own borders.

International trade is in principle not different from domestic trade as the motivation and the behavior of parties involved in a trade does not change fundamentally depending on whether trade is across a border or not. The main difference is that international trade is typically more costly than domestic trade. The reason is that a border typically imposes additional costs such as tariffs, time costs due to border delays and costs associated with country differences such as language, the legal system or a different culture.

International trade uses a variety of currencies, the most important of which are held as foreign reserves by governments and central banks. Here the percentage of global cummulative reserves held for each currency between 1995 and 2005 are shown: the US dollar is the most sought-after currency, with the Euro in strong demand as well.

Another difference between domestic and international trade is that factors of production such as capital and labor are typically more mobile within a country than across countries. Thus international trade is mostly restricted to trade in goods and services, and only to a lesser extent to trade in capital, labor or other factors of production. Then trade in good and services can serve as a substitute for trade in factors of production. Instead of importing the factor of production a country can import goods that make intensive use of the factor of production and are thus embodying the respective factor. An example is the import of labor-intensive goods by the United States from China. Instead of importing Chinese labor the United States is importing goods from China that were produced with Chinese labor. International trade is also a branch of economics, which, together with international finance, forms the larger branch of international economics.

Models

Several different models have been proposed to predict patterns of trade and to analyze the effects of trade policies such as tariffs.

Ricardian model

Main article: Ricardian model

The Panama Canal is important for international sea trade between the Atlantic Ocean and the Pacific Ocean.

The Ricardian model focuses on comparative advantage and is perhaps the most important concept in international trade theory. In a Ricardian model, countries specialize in producing what they produce best. Unlike other models, the Ricardian framework predicts that countries will fully specialize instead of producing a broad array of goods. Also, the Ricardian model does not directly consider factor endowments, such as the relative amounts of labor and capital within a country.

Heckscher-Ohlin model

Main article: Heckscher-Ohlin model

The Heckscher-Ohlin model was produced as an alternative to the Ricardian model of basic comparative advantage. Despite its greater complexity it did not prove much more accurate in its predictions. However from a theoretical point of view it did provide an elegant solution by incorporating the neoclassical price mechanism into international trade theory.

The theory argues that the pattern of international trade is determined by differences in factor endowments. It predicts that countries will export those goods that make intensive use of locally abundant factors and will import goods that make intensive use of factors that are locally scarce. Empirical problems with the H-O model, known as the Leontief paradox, were exposed in empirical tests by Wassily Leontief who found that the United States tended to export labor intensive goods despite having a capital abundance.

Specific factors model

World Trade Organisation membership as of 2005.

Global Competitiveness Index (2006-2007): competitiveness is an important determinant for the well-being of states in an international trade environment.

In this model, labour mobility between industries is possible while capital is immobile between industries in the short-run. Thus, this model can be interpreted as a 'short run' version of the Heckscher-Ohlin model. The specific factors name refers to the given that in the short-run, specific factors of production such as physical capital are not easily transferable between industries. The theory suggests that if there is an increase in the price of a good, the owners of the factor of production specific to that good will profit in real terms. Additionally, owners of opposing specific factors of production (i.e. labour and capital) are likely to have opposing agendas when lobbying for controls over immigration of labour. Conversely, both owners of capital and labour profit in real terms from an increase in the capital endowment. This model is ideal for particular industries. This model is ideal for understanding income distribution but awkward for discussing the pattern of trade.

New Trade Theory

Main article: New Trade Theory

New Trade theory tries to explain several facts about trade, which the two main models above have difficulty with. These include the fact that most trade is between countries with similar factor endowment and productivity levels, and the large amount of multinational production (i.e., foreign direct investment) which exists. In one example of this framework, the economy exhibits monopolistic competition, and increasing returns to scale.

Gravity model

Main article: Gravity model of trade

The Gravity model of trade presents a more empirical analysis of trading patterns rather than the more theoretical models discussed above. The gravity model, in its basic form, predicts trade based on the distance between countries and the interaction of the countries' economic sizes. The model mimics the Newtonian law of gravity which also considers distance and physical size between two objects. The model has been proven to be empirically strong through econometric analysis. Other factors such as income level, diplomatic relationships between countries, and trade policies are also included in expanded versions of the model.

Regulation of international trade

Traditionally trade was regulated through bilateral treaties between two nations. For centuries under the belief in Mercantilism most nations had high tariffs and many restrictions on international trade. In the 19th century, especially in the United Kingdom, a belief in free trade became paramount.[citation needed] This belief became the dominant thinking among western nations since then. In the years since the Second World War, controversial multilateral treaties like the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and World Trade Organization have attempted to create a globally regulated trade structure. These trade agreements have often resulted in protest and discontent with claims of unfair trade that is not mutually beneficial.

Free trade is usually most strongly supported by the most economically powerful nations, though they often engage in selective protectionism for those industries which are strategically important such as the protective tariffs applied to agriculture by the United States and Europe.[citation needed] The Netherlands and the United Kingdom were both strong advocates of free trade when they were economically dominant, today the United States, the United Kingdom, Australia and Japan are its greatest proponents. However, many other countries (such as India, China and Russia) are increasingly becoming advocates of free trade as they become more economically powerful themselves. As tariff levels fall there is also an increasing willingness to negotiate non tariff measures, including foreign direct investment, procurement and trade facilitation.[citation needed] The latter looks at the transaction cost associated with meeting trade and customs procedures.

Traditionally agricultural interests are usually in favour of free trade while manufacturing sectors often support protectionism.[citation needed]This has changed somewhat in recent years, however. In fact, agricultural lobbies, particularly in the United States, Europe and Japan, are chiefly responsible for particular rules in the major international trade treaties which allow for more protectionist measures in agriculture than for most other goods and services.

During recessions there is often strong domestic pressure to increase tariffs to protect domestic industries. This occurred around the world during the Great Depression. Many economists have attempted to portray tariffs as the underlining reason behind the collapse in world trade that many believe seriously deepened the depression.

The regulation of international trade is done through the World Trade Organization at the global level, and through several other regional arrangements such as MERCOSUR in South America, the North American Free Trade Agreement (NAFTA) between the United States, Canada and Mexico, and the European Union between 27 independent states. The 2005 Buenos Aires talks on the planned establishment of the Free Trade Area of the Americas (FTAA) failed largely because of opposition from the populations of Latin American nations. Similar agreements such as the Multilateral Agreement on Investment (MAI) have also failed in recent years.

Risks in international trade

Economic risks

  • Risk of insolvency of the buyer,
  • Risk of protracted default - the failure of the buyer to pay the amount due within six months after the due date
  • Risk of non-acceptance
  • Surrendering economic sovereignty
  • Risk of Exchange rate

Political risks

  • Risk of cancellation or non-renewal of export or import licences
  • War risks
  • Risk of expropriation or confiscation of the importer's company
  • Risk of the imposition of an import ban after the shipment of the goods
  • Transfer risk - imposition of exchange controls by the importer's country or foreign currency shortages
  • Surrendering political sovereignty
  • Influence of political parties in importer's company

Contents

[hide]

Sistem Harga pokok standar

Bab ini membahas sistem kos standar, Pembahasan yang dilakukan meliputi pengertian kos standar, manfaat kos standar, perancangan kos standar, penentuan penyimpangan kos standar

Pengertian harga pokok standar

Harga pokok standar adalah harga pokok produksi suatu unit atau sekelompok produk selama periode tertentu, yang ditentukan dimuka. Harga pokok standar merupakan harga pokok yang direncanakan untuk suatu produk pada kondisi operasi tertentu. Suatu harga pokok standar mempunyai dua komponen yaitu standar fisik dan standar harga. Standar fisik adalah kuantitas standar masukan perunit keluaran. Standar harga adalah perkiraan perunit masukan. Harga pokok standar merupakan harga pokok yang direncanakan terjadi dalam memproduksi suatu produk dalam kondisi operasi tertentu. Harga pokok produksi standar yang dibuat meliputi harga pokok bahan baku standar, biaya tenaga kerja langsung standar, dan biaya overhead pabrik standar

Manfaat Harga Pokok Standar

Sistem harga pokok standar bermanfaat untuk melakukan perencanaan, pengendalian operasi, dan memberikan wawasan kepada manajemen dalam membuat keputusan. Harga pokok standar dapat digunakan untuk;

1. Penyederhaanaan prosedur penentuan harga pokok produk

2. Memudahkan pembuatan anggaran

3. Pengendalian biaya

4. Penentuan harga jual

Perancangan harga pokok standar

Penentuan harga pokok standar berdasarkan pada standar fisik yang terdiri atas:

1. Standar sesungguhnya yang diharapkan yaitu standar yang dirancang tingkat kapasitas atau efisiensi yang diharapkan. Sandar ini merupakan taksiran yang mendekati hasil sesungguhnya.

2. Standar normal

3. Standar teoritis

Perancangan harga pokok produski standar meliputi perancangan harga pokok bahan baku standar, biaya tenaga kerja langsung standar, dan biaya overhead pabrik standar. Dalam penentuan setiap jenis harga pokok produksi standar dirancang tingkat harga standar dan kapasitas standar yang digunakan pada suatu periode tertentu harga pokok produksi standar dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh perusahaan.

Biaya bahan baku dan biaya tenaga kerja; langsung standar dibuat berdasarkan kondisi operasi normal. Oleh karena itu manajemen mungkin mengadakan perubahan harga dan upah yang diharapkan untuk mencerminkan tingkat efisiensi yang diharapkan. Biaya overhead pabrik biasanya dibuat berdasarkan kondisi operasi normal dan volume pada tingkat efisiensi yang diharapkan.

Keberhasilan sistem harga pokok standar tergantung pada keandalan, akurasi dan sikap karyawan terhadap standar yang ditetapkan. Semua faktor yang relevan dalam penyusunan standar harus dipertimbangkan. Selain itu, tingkat ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi sangat dibutuhkan. Standar yang disusun secara sembarang akan menghilangkan semua manfaat yang seharusnya diperoleh dalam penggunaan harga pokok standar.

Harga pokok standar harus disusun tidak terlalu sulit dan tidak terlalu mudah untuk dicapai. Harga pokok standar yang terlalu sulit dicapai dapat menyebabkan karyawan frustasi dan tingkat kesalahan yang tinggi sehingga menimbulkan pemborosan. Harga pokok standar yang telalu longgar dapat menyebabkan penurunan tingkat produktivitas karyawan.

Harga pokok bahan baku standar

Harga pokok bahan baku standar terdiri atas harga bahan standar dan kuantitas penggunaan bahan baku standar. Perancangan kedua standar tersebut diutarakan sebagai berikut.

Harga bahan baku standar. Harga bahan baku standar adalah harga bahan baku perunit yang seharusnya dibeli. Harga bahan baku standar harus mencerminkan harga pasar wajar yang berlaku. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangakan dalam perancangan harga bahan baku standar adalah:

a. Peramalan penjualan. Harga bahan baku dapat dipengaruhi oleh volume pembelian bahan baku, yang dipengaruhi oleh volume produksi. Perencanaan volume produksi sangat dipengaruhi volume penjualan.

b. Kualitas bahan baku yang diinginkan. Tingkat kualitas bahan baku dapat mempengaruhi harga, karena kualitas bahan baku yang tinggi mempunyai harga yang tinggi dan sebaliknya.

c. Pemilihan yang teliti terhadap para pemasok. Pemilihan pemasok harus dihubungkan dengan harga bahan baku yang ditawarkan dengan mempertimbangkan kuantitas, dan pengiriman yang diinginkan.

Kuantitas penggunaan bahan baku. Kuantitias penggunaan bahan baku standar adalah kuantitas bahan baku yang seharusnya digunakan untuk menghasilkan satu unit barang jadi. Kuantias penggunaan bahan baku standar biasanya dirancang oleh departemen perekayasaan produk karena departemen ini yang semestasinya mampu menyusun kuantitas penggunaan standar yang realistis.

Biaya tenaga kerja langsung standar

Biaya tenaga kerja langsung terdiri atas tarif tenaga kerja langsung standar dan kuantitas penggunaan tenaga kerja langsung standar. Perancangan kedua standar disajikan berkut ini.

Tarif tenaga kerja langsung standar. Tarif tenaga kerja langsung standar adalah harga tenaga kerja langsung yang ditentukan dimuka untuk suatu periode. Tarif tenaga kerja langsung dapat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, pengalaman, dan kontrak kerja.

Penggunaan tenaga kerja langsung standar. Penggunaan tenaga kerja langsung standar adalah jumlah tenaga kerja langsung yang seharusnya digunakan untuk memproduksi satu unit produk jadi. Penentuan standar ini dapat menggunakan studi gerak dan waktu.

Biaya overhead pabrik standar

Penentuan biaya overhead pabrik standar lebih komplek daripada elemen biaya produksi yang lain karena meliputi biaya bahan baku tidak langsung, biaya tenaga kerja tidak langsung, dan harga pokok produksi lain yang bukan merupakan biaya bahan baku atau biaya tenaga kerja langsung. Biaya overhead pabrik digolongkan menjadi biaya overhead pabrik variabel dan biaya overhead pabrik tetap. Oleh karena itu, biaya overhead pabrik standar terdiri atas biaya overhead pabrik variabel standar dan biaya overhead pabrik tetap standar berdasarkan tingkat kapasitas produksi yang ingin dicapai.

Perhitungan Selisih

Selisih bahan baku

Selisih harga bahan baku = (harga beli sesungguhnya setiap tahun (HS) x kuantitas sesungguhnya yang dibeli) (harga beli standar setiap tahun (HSt) x kuantitas sesungguhnya dibeli)

Apabila, HS > HSt, tidak menguntungkan (unfavorable)

Apabila, HS <>

Selisih kuantitas bahan baku = (kuantitas sesungguhnya atas bahan baku dipakai (KS
) x harga beli standar bahan baku dipakai) (kuantitas standar atas bahan baku dipakai (KSt) x harga beli standar bahan baku dipakai)

KS > KSt, unfavorable

KS <>

Selisih tarif upah langsung

Selsisih tarif upah langsung = (tarif sesungguhnya dari upah langsung per Jam (TS) x Jam sesungguhnya) – (tarif standar dari upah langsung perjam (TSt) x Jam sesungguhnya)

TS > TSt, Unfavorable

TS <>

Selisih efisiensi upah langsung = (tarif standar dari upah langsung per Jam (JS) x jam standar) – (Tarif standar dari upah langsung perjam (JSt) x Jam standar)

JS > JSt, Unfavorable

JS <>

Selisih Biaya overhead pabrik

Analisis satu selisih (one-factor analysis)

Selisih total overhead pabrik = biaya overhead pabrik sesungguhya (BOPs) – biaya overhead pabrik dibebankan (BOPb)

Biaya overhead pabrik dibebanknan = biaya overhead pabrik total standar perunit x kapasitqs standar yang digunakan

Analsisi dua selisish (Two-factor anlysis)

Selisih anggaran BOP = biaya overhead pabrik sesungguhnya (BOPs)biaya overhead pabrik standar (BOPb)

Biaya overhead pabrik standar = (BOP variabel per unit x kapasitas standar difgunakan produksi) + (BOP tetap perunit x kapasitas produksi direncanakan)

BOPs > BOPb, (unfavorable)

BOPs <>